Selasa, 04 Juni 2013

RASA NASIONALISME MASIH PENTINGKAH DI ERA GLOBALISASI ?



Pada era globalisasi ini, batas dan jarak tidak lagi jadi penghalang pergerakan, dunia semakin gampang dijelajahi, transformasi budaya sangat mungkin terjadi, modernisasi sudah pasti mendatangi. Lantas masih pentingkah nasionalisme ?
Jika benar rasa nasionalisme itu benar-benar masih di perlukan, maka coba kita lihat aplikasi dilapangan, jika dilihat, kaula muda masa kini lebih suka dengan dengan budaya negara lain, musik, tarian, dan pola kehidupan. Contoh yang paling nyata, anak-anak muda lebih suka dengan musik korea, budaya korea dan semua tentang korea, nah berapa orang dari anak-anak muda masa kini yang suka akan musik asli indonesia, tarian indonesia dan apa yang Indonesia miliki ?.
Namun, apakah itu bisa jadi ukuran pentingnya nasionalisme ?. tentu tidak, karena nasionalisme lebih dari sekedar budaya, namun, keadaan nasionalisme di beberapa waktu belakangan ini menjadi lebih buruk. Jika kita lihat fakta yang terjadi, berapa banyak orang yang kini tahu apa saja sila yang terdapat di pancasila ? berapakah jumlah bulu sayap pada garuda, berapa jumlah bulu ekor pada garuda dan berapa jumlah bulu leher pada garuda ? tak banyak yang tahu lagi. Coba tanyakan berapa jumlah provinsi di indonesia ? hanya segelintir orang yang tahu. Terlebih lagi jika ditanya momen-momen penting yang pernah terjadi di indonesia, seperti penculikan Soekarno, konferensi meja bundar, pembentukan organisasi boedi oetomo, dan peristiwa penting lainnya. Ironis memang rasa nasionalisme anak bangsa sekarang.
Di bidang pendidikan, sekolah-sekolah modern lebih suka menerapkan penggunaan bahasa inggis, dengan berbagai alasan tentunya, sehingga penggunaan bahasa indonesia seperti bahasa formal kedua di sekolah formal di Indonesia. Efek positif yang di dapat dari sistem itu adalah, para siswa sangat jago berbahasa Inggris, fasih berbicara dan fasih menulis dalam bahasa inggris. Tapi lihatlah apa yang terjadi dengan bahasa indonesia, siapa yang bisa menulis dengan bahasa indonesia yang baik dan benar ? kita lihat saja buktinya, rata-rata ketidak lulusan siswa pada Ujian Akhir Nasional bukan karna tidak bisa pelajaran matematika, apalagi tidak bisa menjawab soal bahasa inggris. Ironisnya siswa-siswa tidak lulus ujian akhir nasional karna tidak bisa menjawab pelajaran bahasa indonesia. Bahasa negri sendiri, bahasa ibu sendiri. Padalah jika kita kembali pada 28 Oktober 1928 ketika sumpah pemuda di ikrarkan, bukankah para pemuda-pemudi sudah bersumpah untuk berbahasa indonesia ? ya, sumpah kini hanyalah tinggal sumpah, tanpa pembuktian
Di kehidupan sehari-hari, anak-anak muda lebih senang dan merasa gaul jika mereka meng-update status di jejaring sosial dengan bahasa inggris. Menyatakan cinta dengan pasangan saja dengan kata “i love u” mengatakan rindu dengan “i miss u” merasa tidak gaul dan malu jika mengatakannya dengan bahasa indonesia, alasannya pasti tidak keren dan tidak romantis. Apakah segitu burukkah bahasa indonesia ?
Ditengah keruntuhan nasionalisme di indonesia, ada angin segar yang muncul menyegarkan nasionalisme. Nasionalisme di indonesia akan sangat terasa pada kejuaraan olah raga internasional. Bulu tangkis, sepak bola dan cabang-cabang olah raga yang lainnya. Siapa yang tak tahu lagu “Garuda di Dadaku”. Saat timnas berlaga, stadion dipenuhi dengan ribuan manusia dengan kostum merah dan putih, dengan gaungan lagu garuda di dadaku, terserah timnas akan menang ataupun kalah. Namun, mendukung timnas adalah harga mati. Inilah panorama olah raga indonesia. Tetap juataan orang indonesia mendadak nasionalis.
Inilah potret Nasionalisme di indonesia, dampak globalisasi yang sangat besar tidak dapat di bendung dengan baik oleh anak-anak muda masa kini, jika ini terus terjadi, bukan tidak mungkin, anak-anak muda akan lupa apa warna bendera Indonesia, lupa apa itu pancasila dan bahasa indonesia hanyalah tinggal sejarah seperti bahasa sansekerta yang telah lama dilupakan orang. 

Kamis, 24 Januari 2013

TIFOSI-TIFOSI SETIA INTER MILAN


1. Boys S.A.N (Squadre d'Azione Nerazzurre)

Kelompok tertua di Curva Nord 69. Berdiri pada 1969, hanya selang setahun setelah Fossa dei Leoni pertama kali muncul. Boys diambil dari nama anak nakal di sebuah komik bernama serupa. Di era 80-an Boys S.A.N kian ditakuti sebagai kelompok yang kerap membuat ulah. Namun, sejak awal 90-an, Boys S.A.N meminimalisir aksi anarkis, dan lebih fokus mengekspresikan fanatisme melalui berbagai koreografi di stadion. Sekadar info, Boys S.A.N terbentuk meneruskan ide pelatih Inter ketika itu, Helenio Herrera yang menginginkan terbentuknya sebuah kelompok suporter yang terorganisir dengan rapi.

2. Ultras Inter (Forever Ultras)

Di Curva Nord, Ultras menjadi yang tertua ke dua setelah Boys S.A.N. Mereka berdiri sejak 1975 dengan nama Forever Ultras sebelum diganti pada 1995. Pelopornya adalah dua pemuda bernama Luciano dan Curzio, yang pertama kali memunculkan spanduk bertuliskan Forever Ultras di Curva Nord, tepat berdampingan dengan Boys S.A.N. Sejak 1997, Ivan Renato menjadi sutradara Ultras setelah meneruskan era kepemimpinan sebelumnya.

3. Viking Inter

Kelompok ketiga di Curva Nord ini terbentuk pada 1984. Viking juga dikenal sebagai salah satu pendukung beraliran sayap kanan paling loyal di Italia. Sayang, mereka kerap bersikap rasis. Kebetulan, Viking memang berhubungan sangat dekat dengan Blood & Honour Varese (kelompok suporter yang menolak anti-rasisme di sepak bola). Viking pun menjadi sangat menonjol di Curva Nord dengan indentitas bendera paling besar di antara suporter Ultras Inter lainnya.

4. Brianza Alcoolica

Brianza Alcoolica (semangat Brianza) memang baru resmi didirikan pada November 1985. Namun, berbagai spanduk bertuliskan nama kelompok mereka sudah muncul beberapa tahun sebelumnya di Madrid, Spanyol. Dipelopori oleh beberapa orang yang merasa tidak cocok dengan segala kekerasan Curva Nord, Brianza Alcoolica memisahkan diri dengan idealisme mereka untuk menciptakan hiburan di stadion. Mungkin karena itu pula Brianza Alcoolica menjadi kelompok dengan jumlah suporter paling sedikit di antara lima lainnya.

5. Irridubicili

Irridubicili menjadi kelompok paling kontroversial di antara Ultras Inter lainnya. Berdiri sejak 1988, kelompok ini juga dikenal dengan nama “Skins” ini langsung membuat kericuhan dengan menyerang setiap pendukung lawan yang datang ke Giuseppe Meazza. Ciri khas Irridubicili adalah maskot seekor anjing hitam sebagai lambang kejahatan atau keonaran bernama Muttley. Dengan slogan “Non basta essere Bravi bisogna essere I migliori” (untuk menjadi yang terbaik, tidak cukup dengan bersikap baik), tak heran jika jika Irridubicili kerap berbuat onar di stadion. Bahkan mereka dengan terang-terangan mengaku setiap mendukung Inter, tak akan pernah lepas dari minuman beralkohol.

6. Milano Nerazzurra

Kelompok ini memang lebih kecil dibanding Boys SAN atau lainnya. Namun, mereka justru mampu tampil dengan warna-warna mencolok melalui koreografinya di sisi kiri Curva Nord. Milano Nerazzurra juga mendapat julukan “Potere Nerazzurro” atau Si Hitam Biru yang Kuat. Sejak berdiri sekitar akhir 80-an, Milano Nerazzurri memang telah menyatakan ketidakcocokannya dengan saudara tua mereka, Boys SAN. Tak heran jika letak kedua kelompok ini berjauhan, yang satu di sisi kiri, dan yang satunya di sisi kanan.

7. Boy Sez Roma

Meski Boy Sez Roma lahir dari sekelompok laki-laki yang berasal dari Kota Roma, mereka justru merupakan pendukung fanatik Inter Milan. Sejak awal berdiri pada 1979 lalu, kelompok ini memang membatasi anggotanya di usia 18-30 tahun, dan tentunya dengan satu tujuan mendukung Inter Milan. Boy Sez Roma mengambil posisi di sisi kanan Curva Nord dan berhubungan sangat dekat dengan Boys S.A.N.