Pada
era globalisasi ini, batas dan jarak tidak lagi jadi penghalang pergerakan, dunia
semakin gampang dijelajahi, transformasi budaya sangat mungkin terjadi, modernisasi
sudah pasti mendatangi. Lantas masih pentingkah nasionalisme ?
Jika
benar rasa nasionalisme itu benar-benar masih di perlukan, maka coba kita lihat
aplikasi dilapangan, jika dilihat, kaula muda masa kini lebih suka dengan
dengan budaya negara lain, musik, tarian, dan pola kehidupan. Contoh yang
paling nyata, anak-anak muda lebih suka dengan musik korea, budaya korea dan
semua tentang korea, nah berapa orang dari anak-anak muda masa kini yang suka
akan musik asli indonesia, tarian indonesia dan apa yang Indonesia miliki ?.
Namun,
apakah itu bisa jadi ukuran pentingnya nasionalisme ?. tentu tidak, karena
nasionalisme lebih dari sekedar budaya, namun, keadaan nasionalisme di beberapa
waktu belakangan ini menjadi lebih buruk. Jika kita lihat fakta yang terjadi,
berapa banyak orang yang kini tahu apa saja sila yang terdapat di pancasila ?
berapakah jumlah bulu sayap pada garuda, berapa jumlah bulu ekor pada garuda
dan berapa jumlah bulu leher pada garuda ? tak banyak yang tahu lagi. Coba tanyakan
berapa jumlah provinsi di indonesia ? hanya segelintir orang yang tahu. Terlebih
lagi jika ditanya momen-momen penting yang pernah terjadi di indonesia, seperti
penculikan Soekarno, konferensi meja bundar, pembentukan organisasi boedi
oetomo, dan peristiwa penting lainnya. Ironis memang rasa nasionalisme anak
bangsa sekarang.
Di
bidang pendidikan, sekolah-sekolah modern lebih suka menerapkan penggunaan
bahasa inggis, dengan berbagai alasan tentunya, sehingga penggunaan bahasa
indonesia seperti bahasa formal kedua di sekolah formal di Indonesia. Efek positif
yang di dapat dari sistem itu adalah, para siswa sangat jago berbahasa Inggris,
fasih berbicara dan fasih menulis dalam bahasa inggris. Tapi lihatlah apa yang
terjadi dengan bahasa indonesia, siapa yang bisa menulis dengan bahasa
indonesia yang baik dan benar ? kita lihat saja buktinya, rata-rata ketidak
lulusan siswa pada Ujian Akhir Nasional bukan karna tidak bisa pelajaran
matematika, apalagi tidak bisa menjawab soal bahasa inggris. Ironisnya
siswa-siswa tidak lulus ujian akhir nasional karna tidak bisa menjawab pelajaran
bahasa indonesia. Bahasa negri sendiri, bahasa ibu sendiri. Padalah jika kita
kembali pada 28 Oktober 1928 ketika sumpah pemuda di ikrarkan, bukankah para
pemuda-pemudi sudah bersumpah untuk berbahasa indonesia ? ya, sumpah kini
hanyalah tinggal sumpah, tanpa pembuktian
Di
kehidupan sehari-hari, anak-anak muda lebih senang dan merasa gaul jika mereka
meng-update status di jejaring sosial dengan bahasa inggris. Menyatakan cinta
dengan pasangan saja dengan kata “i love
u” mengatakan rindu dengan “i miss u”
merasa tidak gaul dan malu jika mengatakannya dengan bahasa indonesia,
alasannya pasti tidak keren dan tidak romantis. Apakah segitu burukkah bahasa
indonesia ?
Ditengah
keruntuhan nasionalisme di indonesia, ada angin segar yang muncul menyegarkan
nasionalisme. Nasionalisme di indonesia akan sangat terasa pada kejuaraan olah raga
internasional. Bulu tangkis, sepak bola dan cabang-cabang olah raga yang
lainnya. Siapa yang tak tahu lagu “Garuda di Dadaku”. Saat timnas berlaga,
stadion dipenuhi dengan ribuan manusia dengan kostum merah dan putih, dengan
gaungan lagu garuda di dadaku, terserah timnas akan menang ataupun kalah. Namun,
mendukung timnas adalah harga mati. Inilah panorama olah raga indonesia. Tetap juataan
orang indonesia mendadak nasionalis.
Inilah
potret Nasionalisme di indonesia, dampak globalisasi yang sangat besar tidak
dapat di bendung dengan baik oleh anak-anak muda masa kini, jika ini terus
terjadi, bukan tidak mungkin, anak-anak muda akan lupa apa warna bendera
Indonesia, lupa apa itu pancasila dan bahasa indonesia hanyalah tinggal sejarah
seperti bahasa sansekerta yang telah lama dilupakan orang.